Industrialtimes.net - Toleransi,
bukan berarti kami tak peduli sepertinya adalah kata-kata yang tepat untuk
menggambarkan kondisi emosional ummat islam saat ini. Kini, ummat islam sedang
diuji kesabarannya, dipertanyakan keimanannya, diperhatikan kesetiannya.
Bahkan, meskipun ada penganut agama islam yang belum menjalankan aturan
agamanya dengan sempurna, tetap saja ia marah jika ada sesuatu hal terkait
agamanya yang terusik.
Penulis
tidak ingin membuat perpecahan antar ummat beragama. Penulis juga tidak ingin
menyebutkan nama yang penulis akui sebagai sosok yang sangat mengecewakan,
menurut penulis. Ya, sangat kecewa ketika ternyata ekspektasi berbanding
terbalik dengan harapan. Namun, seperti itulah manusia, terkadang punya banyak
kesalahan dan lupa.
Mari,
kita berkaca pada sejarah bahwa betapa toleransinya ummat islam ketika masa
Rasulullah SAW hidup. Dahulu mereka yang non-muslim tidak pernah dipaksa untuk
memeluk agama islam. Mereka yang non-muslim juga masih boleh berada dalam kepemimpinan
muslim diwilayah mereka dan hanya dibebankan untuk membayar pajak. Dahulu juga,
mereka yang non-muslim tidak diganggu kehidupannya jika mereka juga tidak
mengganggu kehidupan orang-orang muslim. Bahkan didalam islam pun, Allah tetap
memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada orang tua yang statusnya
non-muslim dan juga tentunya berbuat baik kepada seluruh tetangga, kerabat dan
sahabat meskipun yang berbeda agama. Mengapa? Karena sesungguhnya agama islam
adalah agama yang damai dan penuh kasih sayang. Agama islam juga diharapkan
sebagai rahmat bagi seluruh alam dengan hadirnya sosok Rasulullah SAW yang
sejatinya memberikan teladan.
Saat
ini, kita juga dapat melihat bahwasanya tidak adanya pembunuhan atau peperangan
nyata yang terjadi antara ummat muslim dan ummat non-muslim. Penulis sendiri
memiliki teman yang berasal dari berbagai latar belakang agama, seperti Kristen
dan budha. Namun, kami masih tetap berteman dan saling bertukar fikiran. Hanya
satu yang Allah larang bagi kami ummat islam, yaitu bermusyawarah masalah
aqidah dan peribadahan. Hal ini, telah sangat jelas Allah terangkan dalam surat
Al-kafirun ayat 1-6 yang artinya “Katakanlah: "Hai orang-orang kafir, Aku
tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang
aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, Dan
kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu,
dan untukkulah, agamaku."
Jadi
sangat disayangkan, jika ada yang beranggapan bahwasanya agama islam ini adalah
agama yang mengajarkan kekerasan atau mungkin ada yang beranggapan bahwasanya
ummat islam ini adalah sosok-sosok yang teroris yang suka membunuh dan
berperang. Jikapun ada, beberapa orang islam yang melakukannya dan diberitakan
di media-media, maka seperti yang telah penulis katakan diatas bahwa “Manusia
adalah tempatnya salah dan lupa”. Ya, ada banyak faktor psikologis yang
menjadikan seseorang berperilaku demikian, mungkin saja kurangnya mendalami
ilmu agama, pola asuh, lingkungan, kejadian traumatis yang pernah dialami,
ekonomi dsb. Dan saya rasa hal seperti ini juga mungkin saja terjadi pada
penganut agama-agama lainnya.
Namun,
sejauh ini yang penulis ketahui bahwa kita sebagai Bangsa Indonesia adalah
bangsa yang taat akan hukum. Segala hal diatur oleh undang-undang, termasuk
dengan kebebasan beragama dan menjalankan ibadah sesuai dengan kepercayaannya
masing-masing. Oleh karena itu, kepercayaan dan peribadahan ummat beragamapun
seharusnya tidak boleh diganggu apalagi dihina karena dapat melanggar
undang-undang serta hukum yang berlaku.
Dan
hal itulah yang penulis harapkan dari para pemegang kekuasaan yang saat ini
sedang memimpin tanah air Indonesia, baik dari pemimpin kota sampai pemimpin
yang ada dinegara. Miris, jika kita lihat hukuman akan sangat tajam ditujukan
bagi mereka masyarakat kalangan bawah dan menengah dan hukuman akan sangat
tumpul jika ditujukan bagi mereka yang memiliki pangkat, jabatan atau harta
kekayaan. Ya, penulis sebagai seorang mahasiswi biasa, menuntut keadilan hukum yang
ada di Indonesia karena sudah cukup prihatin dengan pembeberan berita-berita
yang ada di sosial media ataupun media massa. Sampai detik ini pun, Indonesia
tidak kekurangan orang-orang pintarnya dan penulis juga berharap Indonesia juga
tidak kekurangan orang-orang yang jujur, adil dan bermoral.
Toleransi,
bukan berarti kami tidak peduli. Selama tidak ada yang saling mengganggu atau
menyakiti, maka toleransi akan tetap terjadi. Namun jika perihal agama sudah
terusik, maka semoga hukumlah yang akan tegak berdiri. Siapapun, dimanapun dan
dari latar belakang apapun sosoknya. Toleransi juga memiliki ambang batas.
Jadi, jika agama manapun dinistai, saya rasa tak ada seorangpun penganutnya
yang tidak akan peduli.
Semoga
tulisan ini tidak akan menyakiti siapapun, baik yang beragama islam maupun pada
agama non-islam. Mari sama-sama kita mengerti, memahami arti dari hakikat
pancasila yang ke 3 yaitu “Persatuan Indonesia” dan hakikat pancasila yang ke 5
yaitu “Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bukankan hidup rukun dan
damai itu indah?
[Farah Febriani, Prodi Psikologi FK Unsyiah]
[Farah Febriani, Prodi Psikologi FK Unsyiah]
Posting Komentar