![]() |
Anak-anak 3T diberi beasiswa dan setelah lulus mereka kembali ke daerahnya untuk menjadi guru yang profesional (Sumber foto: presidenri.go.id) |
Penulis adalah Direktur Jenderal Pendidikan
Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Dr. Ir. KH. Mohammad Nuh, DEA
Jakarta, IndustrialTimes.net - Bicara
memperluas akses, perguruan tinggi (PT) telah membuka pintu selebar-lebarnya
bagi seluruh lapisan masyarakat yang ingin mengenyam pendidikan tinggi. Namun,
tentu saja, mereka yang ingin masuk PT harus memenuhi kualifikasi dan
persyaratan tertentu.
Terkait hal itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) membantu
mereka yang tidak mampu dengan memberi beasiswa Bidikmisi. Pada 2012 lalu,
Kemdikbud menargetkan 40.000 mahasiswa menerima beasiswa ini. Tahun ini,
Kemdikbud menargetkan 50.000 mahasiswa bisa meraih Bidikmisi.
Tentu saja, pemberian akses seluas-luasnya bagi masyarakat untuk masuk
perguruan tinggi tersebut harus disertai dengan peningkatan kualitas perguruan
tinggi itu sendiri. Karena itulah, segala hal terkait perguruan tinggi, mulai
melakukan perencanaan sampai semua kegiatan akademiknya, terus ditingkatkan.
Contohnya, dari sisi governance terus
diperkuat sesuai dengan UU No 12 tahun 2012. Kemudian, UU tersebut dilengkapi
dengan berbagai macam peraturan pemerintah dan peraturan menteri.
Namun demikian, dalam pemberian akses dan peningkatan mutu perguruan tinggi,
Kemdikbud senantiasa memperhatikan perkembangan tuntutan atau kebutuhan
masyarakat. Oleh karena itu, dalam penyediaan perguruan tinggi, Kemdikbud juga
mempertimbangkan relevansinya sehingga perguruan tinggi dapat mencetak tenaga
kerja yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Di satu sisi, perguruan tinggi memang harus tanpa henti mengembangkan ilmu
pengetahuan, yang dalam hal ini melakukan berbagai program akademik. Sementara di
sisi lain, perguruan tinggi mengembangkan program-program studi yang dibutuhkan
langsung oleh masyarakat, misalnya pendidikan vokasi. Apabila hanya ditempuh
1-2 tahun disebut Akademi Komunitas (AK), dan jika ditempuh selama 3 tahun
disebut akademi, dan seterusnya.
Pada saat ini, Kemdikbud mulai membuat pilot project AK untuk program 1 tahun.
Para lulusan SMA diberi pendidikan vokasi khusus, seperti peternakan, data IT,
pemetaan, pertanian, peternakan, perkebunan dll, sesuai dengan kebutuhan
masyarakat di sekitarnya atau kebutuhan secara umum. AK adalah pendidikan
formal. Peserta didik yang berkualifikasi dapat melanjutkan D-2, D-3, atau
pindah ke politeknik.
Secara ideal, sesuai UU, di setiap kabupaten/kota harus ada 1 AK, baik yang
berbasis negeri maupun swasta, seperti di Jababeka, Cikarang, Jawa Barat. Pada
2012 lalu sudah berdiri 46 AK, menurut rencana akan ditambah lagi 126 AK pada
2013.
Untuk mendirikan AK negeri, Kemdikbud bekerja sama dengan
pemerintah daerah. Berhubung bekerja sama dengan pemerintah daerah, pendidikan
vokasi yang dipilih disesuaikan dengan kebutuhan daerah setempat sehingga
potensi lokal dapat tergali optimal oleh putra-putri daerah. Sementara pengajar
di AK adalah orang-orang yang menguasai bidangnya. Sesuai kerangka kualifikasi
nasional, yang boleh mengajar harus bergelar sarjana strata dua (S-2) seperti
magister atau sederajat.
Namun demikian, kalangan profesional yang memiliki keahlian setara dengan S-2
juga dapat mengajar di AK, terutama apabila kompetensinya diberi level dari
1-9. Level 9 merupakan yang tertinggi. Doktor ada pada level 9, sementara
magister di lebel 8.
Kendati begitu, leveling di kalangan
profesional tidak semudah di kalangan akademisi. Namun, yang penting, bagi
profesional adalah level 8 bisa mengajar, tidak harus magister. Ada juga
instruktur cukup S-1, tapi harus berpengalaman di bidangnya hingga setidaknya
pada level 8. Untuk ide leveling,
kedepannya akan dilakukan Dikti atau ada institusi tersendiri akan
melakukannya.
AK ini sangat penting karena akan menyatukan antara pusat pertumbuhan ekonomi
dengan masyarakat sekitarnya. Misalnya, seseorang bertugas melakukan pengukuran
petak di perkebunan, keahlian untuk ukur tanah bisa dididik setahun atau dua
tahun. Untuk itu, AK didirikan di perkebunan itu sehingga menyatukan pusat
pertumbuhan ekonomi dengan masyarakat sekitarnya. Dengan demikian, tidak ada
lagi kesenjangan antara pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dan sekitarnya.
Nantinya, masyarakat juga bisa langsung menikmati keberadaan pabrik, perkebunan,
pusat perikanan, dan lain sebagainya.
Mengenai program keempat Ditjen Dikti, yaitu meningkatkan daya saing, Kemdikbud
telah melakukan beberapa strategi untuk mencapainya. Salah satunya adalah
membantu 30 persen biaya riset yang dilakukan perguruan tinggi negeri (PTN).
Kemdikbud menilai, riset membuat mereka semakin kreatif dan inovatif. Tentu
saja, hal itu akan menjadikan daya saing lulusan PTN semakin meningkat. Adapun
pendanaan riset yang berasal dari Direktorat Penelitian dan Pengabdian
Masyarakat dari dana BUPTN disalurkan kepada Kopertis untuk PTS.
Sementara itu, program penting lainnya terkait dengan daya saing, yaitu
meningkatkan kemampuan SDM, terutama dosen. Mereka disekolahkan S-2 dan S-3,
baik di dalam maupun di luar negeri.
Setiap tahun, Kemdikbud menginginkan sebanyak 1.000 dosen mengikuti program
doktoral di luar negeri dan 3.000 dosen di dalam negeri. Syarat penerima
beasiswa program doktoral ini adalah sudah menjadi dosen atau calon dosen, dan
sudah diterima di PT yang bagus.
Program SM3T
Di luar program unggulan tersebut, ada pula program yang tak kalah penting,
yaitu SM3T (Sarjana Mengajar di daerah 3T: Terdepan, Terluar, Tertinggal).
Sarjana lulusan program studi kependidikan, sebelum menempuh PPG (Program
Profesi Guru), diberi kesempatan mengikuti 1 tahun program SM3T untuk mengajar
di daerah 3T. Selesai mengikuti program SM3T, mereka diutamakan untuk bisa
mengikuti PPG.
Ternyata, prestasi peserta SM-3T cukup bagus. Berdasarkan evaluasi, program
SM3T boleh dikatakan berhasil.
Selain kualitas pesertanya semakin bagus, peminat program ini juga meningkat.
Ditjen Dikti banyak menerima surat dari wilayah yang meminta tambahan kuota
guru dari SM3T. Padahal, semula program ini dikhawatirkan akan ditolak oleh
daerah. Ternyata, yang mendaftar sebagai guru tiga kali lebih banyak dari yang
dibutuhkan.
Untuk menjangkau anak usia sekolah di daerah tersebut, Ditjen Dikti
menyelenggarakan program Pendidikan Guru 3T (PG3T), yaitu anak-anak dari 3T
diberi beasiswa di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Setelah
lulus, mereka kembali lagi ke daerahnya untuk menjadi guru profesional.
Ada lagi program Ditjen Dikti yang dapat memeratakan akses pendidikan tinggi,
yaitu program afirmasi. Misalnya untuk anak-anak Papua. Berdasarkan fakta, pada
umumnya mereka kalah bersaing dengan anak-anak dari daerah lain dalam
memperebutkan kursi di PTN. Melihat fakta terebut, Ditjen Dikti melakukan
seleksi khusus bagi anak-anak Papua. Jadi, mereka hanya berkompetisi
sesama teman-temanya sedaerah. Bagi yang lulus tes, diberi beasiswa di
PTN pilihannya di seluruh Indonesia.
Program serupa juga diberlakukan di daerah-daerah perbatasan , misalnya daerah
yang bersinggungan langsung dengan Malaysia , yaitu ada sekitar 5 kabupaten.
Mereka juga diberi beasiswa. Setelah lulus, mereka diharapkan bersedia bekerja
di kabupatennya masing-masing. Yang penting semua anak difasilitasi agar
memiliki kesempatan mengenyam pendidik yang sama.
Tidak kalah penting adalah program penegerian PTS menjadi PTN. Program ini bertujuan
memeratakan pendidikan tinggi di seluruh Indonesia sesuai dengan proporsinya.
Misalnya di daerah 3T, pemerintah harus bisa hadir dalam bentuk politeknik atau
universitas. Langkah yang dilakukan di sana adalah mengubah status PTS (yang
didukung pemda setempat) menjadi PTN. Kriterianya, daerah 3T dan daerah yang
memiliki Angka Partisipasi Kasar (APK) rendah.Sumber: kompas.com
Posting Komentar