Sukabuji Abdullah Januar Islam
Tuheteru, Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Indonesia
ETOSER Jakarta 2013
"Pgie
cemaN-c’man, gi Ng’pain niech? #Sh4re to aLL" kalimat apakah ini?
Bisakah Anda mengeja dan membacanya? Jika kita telaah dengan baik, kalimat ini
berbunyi, "pagi teman-teman, lagi ngapainnih? #share
to all" ya.
Ini adalah sapaan selamat pagi, mungkin kita pernah menerima kata-kata sejenis
ini, ketika ada salah satu teman kita, mengirim pesan singkat dalam bentuk SMS
ke ponsel kita, atau sekadar menyimak beberapa status teman di akun facebook
dan twitter milik Anda. Terkait dengan hal ini, ada yang menyikapinya biasa
saja, ada juga yang merasa risih dan jengkel dengan bentuk penulisannnya
yang cukup rumit ini, malah langsung mencibirnya di tempat, atau bahkan ada
pula yang menyambutnya dengan suka cita dan mau meladeninya balik.
Tentu saja, semua argumen-argumen itu tergantung pada individu masing-masing.
Fenomena ini sedang booming di
masyarakat indonesia, terutama di daerah-daerah pelosok yang sedang bereuforia
dalam semaraknya hilir mudik arus teknologi informasi.
Asumsi yang beredar pada masyarakat mentropolitan, tepatnya orang-orang kota
saat ini adalah alay merupakan
sesuatu tindakan atau kegiatan yang hanya orang kampungan yang mahir dan sering
melakukannya ketika sedang mengalami kesedihan, galauan dan keberbahagian,
sehingga sosial media pun menjadi objek pelampiasannya.
Tentu saja ini bukan argumen yang harus dijadikan patokan setiap orang untuk
men-judge alay adalah seperti yang
disebutkan. Fenomena alay adalah bukti bahwa adanya kesenjangan
sosial antara kondisi tahap perkembangan pergaulan di desa dan kota. Ada
indikasi sentimental orang-orang metropolitan terhadap orang-orang desa yang
tertinggal secara perkembangan teknologi dan baru mengenal teknologi informasi
sehingga timbul arogansi orang-orang kota yang merasa sudah berada pada posisi
terakhir/terupdate teknologi informasi.
Namun apakah alay hanya
ditujukan kepada orang-orang pelosok saja? Inilah mindset umum yang saat ini berkembang di masyarakat khususnya
remaja. Berbicara soal mengenai bahasa, kalimat "Pgie cemaN-c’man, gi Ng’pain niech? #Sh4re to aLL"
memang telah menyalahi etika penulisan bahasa yang baik dan benar, Namun
alangkah lebih tidak beretika lagi kalau ada orang yang memang berbicara sesuai
dengan ejaan tulisannya.
Anda bisa mencobanya sendiri, dan betapa berlebihannya hal seperti itu. Alay yang sebenarnya bukan
ditentukan dari cara individu menulis status dan sms atau juga cara ia
melakukan pemotretan dengan handphone China
dengan angle yang membuat
orang awam bingung dan sebagainya. Coba Anda simak dan telaah dengan baik,
kalau memang alay itu sesuatu yang memalukan dan negatif,
apakah menjalani kehidupannya secara berlebihan, seperti boros, mabuk,
berbicara kasar, tidak sopan terhadap orang yang lebih tua dan sesama, korupsi,
seks bebas, narkoba, mencuri, memperkosa, menganiaya orang lain, dan tindakan
berlebihan lainnya bukan tindakan alay?
Inilah alay yang
sebenarnya, fenomena yang membuat masyarakat risih dan tidak nyaman. Bukanlah
mempersoalkan penyalahgunaan bahasa yang hanya sebagai hiburan semata. Jadi
kesimpulanya adalah mari kita ubah asumsi deninisi alay yang sebelumnya sangat tidak mendasar menjadi alayyang
sebenarnya yaitu, alay adalah
kehidupan yang berlebihan yang merugikan diri dan orang lain.
Sumber: okezone.com
Sumber: okezone.com
Posting Komentar